[Fiqh] Hukum wanita haidh baca Quran

Soal:
Hukum wanita haidh membaca atau menyentuh Al-Qur'an?
Jawab:
Dari pertanyaan tersebut ada 2 poin:
1. Hukum membaca al Qur'an bagi wanita haidh
2. Hukum memegang al Qur'an bagi wanita haidh
Kita akan membahas satu persatu:
1. Membaca al Qur'an bagi wanita haidh
Jumhur ulama berpendapat diharamkan membaca Al-Quran bagi wanita haid sebelum dia suci. Tidak ada pengecualian, melainkan hanya untik bacaan dzikir dan do'a , tidak ditujukan untuk  membaca Al-Quran. Seperti bacaan bismillahrrahmaanirrahim, inna lillah wa inna ilaihi raajiun, rabbanaa aatina fiddunya hasanah… dst. Sebagaimana zikir dan doa lainnya yang terdapat dalam Al-Quran. Pendapat mereka yang melarang hal tersebut dilandasi dengan dalil;
Apa yang diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda,
" ﻻ ﺗﻘﺮﺃ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﻻ ﺍﻟﺠﻨﺐ ﺷﻴﺌﺎً ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ " ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ، ﺭﻗﻢ 131 ‏) ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ، ﺭﻗﻢ 595 ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ 1/117 ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، 1/89 )
"Hendaknya wanita haid dan orang yang junub tidak membaca Al-Quran sedikitpun." (HR. Tirmizi, no. 121, Ibnu Majah, no. 595, Daruquthni, 1/117 dan Baihaqi, 1/89)
Ini merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (21/460) berkata, 'Ini merupakan hadits lemah berdasarkan kesepakatan para pakar hadits." (Lihat Nashburroyah, 1/195 dan Talkhis Habir, 1/183)
ﻻ ﻳﻘﺮﺃ ﺍﻟﺠﻨﺐ ، ﻭﻻ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ، ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ، ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﺑﻦ ﻋﻤر
"Hendaknya Orang yang junub dan wanita haid tidak membaca Al-Quran sedikitpun." (HR. Tirmidzi dam Ibnu Majah, dari hadits Ibnu Umar)
Berkata Syaikh Al-Bani rohimahullah dalam kitab "Shahih dan Dhoif Sunan Ibnu Majah, bahwa hadits diatas adalah " Munkar" (juz 2/ hal 167, al-Maktabah asy-Syamlah versi 3.61)
Rasululullah SAW bersabda kepada 'Aisyiyah R.A:
“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR.Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabirbin Abdillah)

Berkata Syeikh Al-Albany:
“Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membacaAl-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau SAW melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah.” (Hajjatun Nabi hal:69).
Pendek kata, dalam pembahasan ini belum ditemukan hadits yang shahih yang mengharamkan wanita haidh membaca Al-Qur'an.

2. Memegang Al-Qur'an bagi wanita haidh
Umumnya terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan tidak boleh dan yang kedua berkata boleh.
Pendapat yang pertama merujuk kepada firman Allah:
(لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ)
"tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan". [al-Waqiah (56):79]
Diikuti dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"ولا يمس القرآن إلا طاهر"
"Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci".[ HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465 ]
Sedangkan pendapat kedua, mereka berpegang kepada kaedah bahawa seseorang wanita yang sedang haid boleh melakukan semua perkara seperti yang biasa mereka lakukan, melainkan adanya dalil tepat (qathi) yang melarangnya. Dalam hal ini yang jelas dilarang adalah bersolat, berpuasa, melakukan tawaf dan bersetubuh. Adapun hukum memegang al-Qur’an, tidak ada dalil tepat yang melarang seseorang yang sedang haid daripada memegangnya.
Ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan oleh pendapat pertama adalah tidak tepat untuk dijadikan hujah kerana perkataan "al-Muthahharun" sebenarnya merujuk kepada para malaikat sebagaimana jika kita lihat keseluruhan ayat yang berkaitan:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ * فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ * لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ * تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia , pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan إِنَّهُbbil 'alamiin. [al-Waqiah (56):77-80]
Tafsir ayat:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
"tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan". [al-Waqiah (56):79]
✅Berkata Ibnu Abbas radhiallahu 'anh: al-Mutatahharun adalah para malaikat yang suci.[Tafsir Ibnu Katsir, 7/544]
✅Berkata Ibnu Mas'ud rodhiyallahu 'anhu " Itu adalah Al-Qur'an yang ada di langit, tidak menyentuhnya kecuali malaikat ".
✅Berkata Abu 'Aliyah " Bukan kalian, kalian adalah ahli dosa"
✅Berkata Imam Malik rohimahullah " Sesungguhnya ayat tersebut hanyalah seperti yang terdapat dalam Surat 'Abasa, Allah Azza was Jalla berfirman:
(كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ * فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَه * فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ * مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ * بِأَيْدِي سَفَرَةٍ * كِرَامٍ بَرَرَة
"Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan * maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya * di dalam kitab-kitab yang dimuliakan * di tangan para penulis (malaikat), * yang mulia lagi berbakti" [QS. 'Abasa (): 11-16]
Bahkan kalau kita lihat keseluruhan ayat sebenarnya menerangkan tentang kitab al-Qur’an yang tersimpan dalam al-Lauh al-Mahfuz, di sana ia tidak disentuh oleh siapa pun kecuali para malaikat sehingga ia diturunkan ke bumi kepada manusia.
Hadits yang dijadikan dalil melarang adalah juga tidak tepat sandarannya kerana perkataan al-Thahharun yang berarti suci adalah satu perkataan yang memiliki banyak arti (lafaz Mushtarak) dan dalam kaedah Usul Fiqh:
"Sesuatu perkataan yang memiliki banyak arti tidak boleh dibataskan kepada satu maksud tertentu melainkan wujud petunjuk yang dapat mendukung pembatasan tersebut."
Perkataan suci dalam hadis di atas boleh bererti suci daripada najis seperti BAB dan air kencing. Boleh juga bererti suci daripada hadas besar seperti haid dan junub, dan suci daripada hadas kecil yakni seseorang yang dalam keadaan wudhu’. Ia juga boleh bererti suci dari sudut akidah seperti firman Allah Ta'ala terhadap orang-orang musyrik:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. [al-Taubah (9):28]
Dan jika itu belum juga meyakinkan kita, Mari kita lihat pernytaan dari Asy Syaikh Albani rahimahullah:
"Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci". Beliau menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158).
Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas. Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thahir’ adalah orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil ataupun dalam keadaan haid.
Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla berpendapat: “Membaca Al-Qur’an, dan sujud di dalamnya, menyentuh mushaf dan dzikir kepada Allah boleh dilakukan baik dalam keadaan punya wudhu atau tidak, bagi yang junub maupun wanita haidh. Penjelasan hal tersebut, karena Membaca Al-Qur’an, dan sujud di dalamnya, menyentuh mushaf dan dzikir kepada Allah merupakan perbuatan baik yang disunnahkan dan pelakunya akan diberi pahala. Barangsiapa yang berpendapat adanya larangan melakukannnya dalam keadaan tertentu, maka orang tersebut wajib menunjukkan dalilnya” (Al-Muhalla Bil Aatsaar I/94-95 Masalah No. 116)
Sedangkan Syeikh Muhammad bin Utsaimin setelah memamparkanperbedaan ulama tentang orang yang tidak dalam keadaan suci dan wanita haid memegang mushaf berkata: “Yang lebih utama, orang yang tidak dalam kedaaan suci tidak boleh menyentuh Al-Mushaf. Adapun jalan keluar bagi perempuan yang sedang haidh adalah mudah, dimungkinkan baginya untuk memakai sarung tangan dan membolak-balikan mushaf dengan kedua tangannya serta memegangnya” (Fatawa Al-Haidh Wal-Istihadhoh Wan-Nifas)
Demikian, semoga bermanfaat bagi setiap pembaca yang menginginkan selalu dekat dengan Al-Qur'an Al-Karim.
Dan bagi pembaca yang menemukan kesalahan Dan kekurangan, harap memberi pembetulan. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
Oleh: Abu Keysa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocah Senja

You can share if you care..